Pelaku Selingkuh Dapat Terjerat Hukum? Begini Kata Pengacara Sutan Syahrudin, SH
Kota Bogor | Jurnalissatu.com - Akhir-akhir ini marak berita tentang hubungan terlarang atau perselingkuhan. Berawal dari curhatan sang istri di media sosial yang menceritakan perselingkuhan suaminya dengan seorang wanita yang tidak lain adalah ibu kandungnya sendiri. Saat itu berita tersebut berhasil mencuri perhatian publik dan mendapat berbagai tanggapan dari publik.
Terbaru, ramai berita mengenai seorang oknum dosen di salah satu universitas swasta yang menjalin hubungan dengan mahasiswinya. Dilansir dari berbagai media Hal tersebut mencuat karena kecurigaan dari warga disekitar tempat tinggal oknum dosen tersebut sehingga warga memberanikan diri untuk menintrogasi dan mendapati bukti berupa tisu magic dll yang diduga digunakan oleh oknum dosen dan mahasiswa, sehingga informasi terakhir kedua oknum tersebut mendapatkan sanksi berat dari Kampus mereka.
Lalu bagaimana sebenarnya perselingkuhan diatur didalam hukum di Indonesia? Negara Indonesia adalah Negara Hukum, hal tersebut tercantum dalam Pasal 1 Ayat (3) Undang-Undang Dasar (UUD) Negara Republik Indonesia Tahun 1945, maka dengan demikian hukum menjadi hal yang penting sebagai alat untuk menegakkan keadilan dan mengatur kehidupan bermasyarakat di Indonesia. Hukum sebagai alat yang mengatur masyarakat diharapkan dapat mencapai keadilan, kemanfaatan hukum dan kepastian hukum.
Untuk mencapai suatu keadilan maka terdapat beberapa cara yang dapat digunakan untuk penyelesaian perkara yaitu dengan keadilan restoratif dan pemenuhan keadilan melalui hukum pidana sebagai ultimum remedium (jalan terakhir). pelaksanaan hukum pidana adalah dengan penerapan isi KUHP terhadap tindak pidana yang dilakukan, salah satunya adalah perbuatan “selingkuh”. Selingkuh didalam KBBI memiliki arti 1. suka menyembunyikan sesuatu untuk kepentingan sendiri; tidak berterus terang; tidak jujur; curang; serong; 2. suka menggelapkan uang; korup; 3. suka menyeleweng; sementara didalam KUHP tidak ada istilah selingkuh melainkan pada Pasal 284 KUHP dikenal dengan istilah gendak (overspel) atau dikenal dengan persetubuhan diluar perkawinan (zinah).
Apabila perselingkuhan tersebut memenuhi unsur pada perbuatan gendak (overspel) /perzinaan maka dapat dikenai dengan Pasal 284 KUHP yang berbunyi :Diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan: a. seorang pria yang telah kawin yang melakukan gendak (overspel), padahal diketahui bahwa pasal 27 BW berlaku baginya. b. seorang wanita yang telah kawin yang melakukan gendak, padahal diketahui bahwa pasal 27 BW berlaku baginya, berdasarkan keterangan diatas dapat disimpulkan bahwa pelaku perzinaan dapat dikenai Pasal 284 KUHP apabila salah satu atau keduanya telah terikat perkawinan dengan orang lain.
Dilanjutkan dengan Pasal 284 Ayat (2) yang berbunyi : “Tidak dilakukan penuntutan melainkan atas pengaduan suami/istri yang tercemar, dan bilamana bagi mereka berlaku pasal 27 BW, dalam tenggang waktu tiga bulan diikuti dengan permintaan bercerai atau pisah-meja dan ranjang karena alasan itu juga.
Maka pihak yang dapat melakukan pelaporan kepada kepolisian adalah Suami/Istri yang dirugikan atas perbuatan yang dilakukan oleh pasangannya, hal tersebut karena perbuatan yang dimaksud pada Pasal 284 merupakan delik aduan. Delik aduan adalah delik yang dapat diproses apabila adanya pengaduan. Pengaduan terhadap pasal 284 dapat dicabut atau ditarik sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 284 Ayat (4) yang berbunyi : Pengaduan dapat ditarik kembali selama pemeriksaan dalam sidang pengadilan belum dimulai. Hal tersebut mencerminkan atau memnungkinkan adanya penyelesaian permasalahan hukum diluar pengadilan atau keadilan restoratif.
Perzinahan didalam KUHP Baru : Negara telah mengesahkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP Baru) pada Desember 2022 dan diundangkan pada 2 Januari 2023 sehingga menurut ketentuan KUHP baru akan berlaku 3 tahun lagi setelah diundangkan yaitu pada 2 januari 2026.
Meski demikian, pembahasan mengenai perzinahan didalam KUHP ini menarik dan perlu untuk dibahas. Perzinahan dibahas pada Pasal 411 ayat (1) KUHP yang menyebutkan, “Setiap orang yang melakukan persetubuhan dengan orang yang bukan suami atau istrinya, dipidana karena perzinaan, dengan pidana penjara paling lama 1 tahun atau pidana denda paling banyak kategori II” Pada KUHP terbaru ini pasal tersebut masih merupakan delik aduan tetapi terdapat perluasan makna, yang sebelumnya hanya dilakukan oleh laki-laki dan perempuan yang terikat perkawinan maka pada KUHP terbaru ini tidak mesti terikat perkawinan.
Hal tersebut dipertegas dengan siapa yang berhak melakukan aduan kepada kepolisian, sebagaimana tercantum di Pasal 411 ayat (2) yang berbunyi. ”Terhadap Tindak Pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dilakukan penuntutan kecuali atas pengaduan: a. suami atau istri lagi orang yang terikat perkawinan. b. Orang Tua atau anaknya bagi orang yang tidak terikat perkawinan.”Maka selain istri atau suami yang terikat perkawinan, orangtua atau anak bagi orang yang tidak terikat perkawinan berhak melakukan aduan.
Maka pesan dari pembahasan diatas adalah kita harus menjaga ikatan suci perkawinan sebagaimana tujuan perkawinan untuk menjadikan keluarga yang sakinah, mawadah dan warrahmah. Jangan sampai berbuat perbuatan yang nyatanya nanti akan merugikan bagi diri sendiri dan bagi keluarga yang telah dibangun, apalagi negara Indonesia adalah Negara Hukum. Apabila keadilan restoratif tidak lagi dihendaki oleh orang yang dirugikan maka hukum pidana bisa menjerat siapapun.
Sehingga dapat disimpulkan pula bahwa, perselingkuhan bisa saja dikenai hukuman apabila diiringi perbuatan yang memenuhi unsur gendak (overspel)/persetubuhan sebagaimana pasal 284 KUHP, tentunya disertai dengan bukti-bukti yang memenuhi syarat alat bukti sesuai dengan Hukum acara yang berlaku di Negara Republik Indonesia. (
Penulis : Sutan Syahrudin, SH